Senin, 07 November 2011

cerpen/Nit, , Bukan Hanya Sekedar Mimpi

Tetes demi tetes air hujan yang padat dan rapat terus mengguyur kota surabaya, bau tanah basah yang khas dari halaman depan sebuah rumah sederhana ditengan desa sambikerep menyeruak masuk melalui celah-celah pada jendela kamar yang sengaja tidak dikunci rapat. Seorang remaja 17 tahun dengan wajah yang ayu khas gadis surabaya duduk termenung dihadapan jendela kamarnya. Matanya memandang lurus keluar jendela kamar, ia mencoba menikmati irama air hujan yang jatuh membasahi tanah kota pahlawan tersebut sambil berfikir keras untuk merangkai kata-kata yang dapat meyakinkan kedua orang tuanya agar dapat memberinya izin menjemput cita-citanya diluar surabaya. Ia kembali membolak-balik kertas yang ada ditangannya. Dibacanya lagi dan lagi isi tulisan yang tertera didalam kertas tersebut. Surat yang berisi tentang sebuah hal besar yang mampu membantunya mewujudkan segala cita-citanya sejak kecil. Ia membaca kembali dengan perllahan kalimat yang bercetak miring dan tebal yang ada didalam surat tersbut.

“Beasiswa penuh program keahlian Teknologi Industri Benih”

Ia kembali menghela nafas panjang, mencoba mengumpulkan keberanian untuk mengungkapkan keinginannya pada kedua orang tuanya.

Malam hari setelah selesai shalat isya berjamaah bersama kedua orang tuanya, ia mulai mengumpulkan keberanian untuk memulai percakapan yang mungkin akan menguras emosi dan tenaganya bersama kedua orang tuanya.

“Bu, Pak, tolong izinin ninit buat kuliah di bogor yah, disana ninit dapat beasiswa penuh dari kampus, jadi insya allah ndak akan merepotkan ibu dan bapak.” Ucapnya dengan halus dan penuh sopan santun, memecah keheningan diruangan tersebut.

Ibu yang sedang mencoba melipat kembali mukena putihnya langsung menatap sang anak dengan penuh kasih sayang seraya berkata “bukannya ibu ndak ngizinin toh cah ayu, kamu itu anak kita satu-satunya, kalo disana ada apa-apa sama kamu mau gimana toh!”

“iya toh nduk, buat apa kamu jauh-jauh kuliah di bogor sementara disini juga masih banyak perguruan tinggi negeri atau swasta yang bagus-bagus, kalo kamu mau bapak bisa kuliahin kamu di IAIN Sunan Ampel atau universitas mana saja asal itu masih di daerah surabaya.” Kini giliran sang ayah yang angkat bicara.

“beda lah bu, disana ninit diterima di universitas negri berbasis pertanian, beasiswa pula. Ibu sama bapak kan jadi ndak usah repot-repot ngeluarin biaya. Ninit janji bakal bikin ibu sama bapak bangga.”

“kenapa kamu ndak nerusin nyantri sama ngabdi di pesantrennya ustad umar aja toh, itu bisa bikin bapak lebih bangga kok.” Jawaban sang ayah kini mulai terdengar ketus, pertanda bahwa ia benar-benar tidak setuju dengan keinginan sang anak.

“tapikan pak, bapak juga tau dari kecil cita-cita ninit kan pengen supaya pertanian di desa kita ini lebih baik dan maju, petani-petaninya juga bisa hidup lebih sejahtera, ndak seperti sekarang ini, para petani hidup serba pas-pasan karna jerih payahnya menanam dan merawat hasil tani mereka kurang dihargai para tengkulak hanya karna beberapa keterbatasan mereka.”

Sejenak ruang kecil yangn biasa mereka gunakan untuk shalat berjamaah ini terasa begitu hening dan sunyi, terdengar helaan nafas ninit yang panjang dan berat, ia kemudian melanjutkan argumen-argumennya terhadap kedua orang tuanya.

“disana ninit bakal banyak belajar tentang ilmu pertanian, ninit kan bisa mengaplikasikan ilmu yang ninit dapet buat memajukan kesejahteraan serta perbaikan sistem pertanian di desa kita. Insya allah ilmu yang nantinya ninit dapet ndak akan sia-sia. Keterbatasan-keterbatasan para petani sambikerep ini insya allah akan ninit cari jalan keluarnya supaya tanah subur desa kita ini bisa mensejahterakan semua masyarakat. Ini mimpi terbesar ninit sejak kecil bu, pak.”

Ninit yang sejak kecil selalu berfikir kritis dan ambisisus memang selalu saja berceloteh bahwa suatu hari nanti ia bisa menjadi tokoh pertanian yang bisa membuat desanya yang subur dan kaya akan hasil pertanian tersebut menjadi desa terkaya dan sejahtera. Ia yang sejak kecil selalu meras heran dan bertanya-tanya mengapa para petani seperti orang tuanya yang susah payah kerja menggarap hasil sawah agar menghasilkan hasil tani yang berkualitas baik masih saja hidup sederhana dan serba pas-pasan, sementara para tengkulak yang biasa menampung hasil pertanian di desanya itu malah terlihat hidup mewah dan terkesan berlebihan. Namu segala pertanyaan itu kadang hanya ditanggapi dengan senyum manis sang ibu atau sekedar perkataan “karna petani kita cinta kesederhanaan” dari sang ayah tercinta. Namun hal-hal tersebut malah makin mebuat tekad yang ada dalam dirinya untuk menjadi tokoh peranian tersebut makin kuat hingga ia beranjak dewasa. Beasiswa dari salah satu perguruan tinggi negeri berbasis pertanian yang kini ada didepan mata dan merupakan peluang besar untuk mewujudkan mimpinya tersebut takkan semudah itu ia lepaskan. Dengan sabar dan penu adab serta sopan santun ninit terus melobi kedua orang tuanya agar diberi izin utuk meraih cita-citanya tersebut. Argumen demi argumen terus meluncur dari bibir kecilnya hingga mau tak mau kedua orang tuanya pun luluh dan mengalah dengan keinginan sang anak.

“Ya sudah lah pak, kita izinkan saja dia pergi, toh dia kan sudah dewas, biarkan dia memilih jalan hidupnya sendiri, kalau dia pengen begitu ya biarlah.” Suara serak ibu kini memberikan setitik harapan bagi ninit. Ia mulai tersenyum penuh harapan.

“Kalau itu memang baik menurutmu, yo wis lah terserah kamu saja, ndak ada gunanya jjuga bapak melarang-larang kalau kamunya kekeuh sama pendirianmu.” Kini sang ayah mulai melunak, meski terdengar tak ikhlas tapi ninit tau kedua orang tuanya pasti akan selalu mendukung keinginannya.

Seminggu setelah perbincangan dengan kedua orang tuanya tersebut, dengan bekal yang pas-pasan hasil tabungannya sejak SMA ia berangkat menuju kota hujan tanpa diantar oleh kedua orang tuanya. Meski begitu, ia tetap semangat dan optimis bahwa ia passti bisa membuat kedua orang tuanya bangga atas segala ilmu yang ia dapat di perguruan tinggi yang meimpany banyak harapan bagi ninit. Ia memang sengaja tidak meminta kedua oranng tuanya mengantar dirinya hingga ke kota huan tersebut, ia juga menolak uang bekal yang diberikan sang ibu dengan tujuan tidak ingin merepotkan kedua orangtuanya. Ia terus berjanji pada ayah dan ibunya bahwa ia takkan menyalahgunakan kepercayaan yang telah mereka berikan.


***

Hari demi hari berjalan begitu cepat, bulan berganti bulan, tak terasa ninit sudah mulai memasuki tahun ketiga dikampusnya. Berbagai prestasi tak pernah lepas dari tangannya. Kedua orang tuanya pun mulai bangga dan menyimpan banyak kepercayaan pada nya. Ia tumbuh menjadi gadis yang dewasa dan cerdas serta komunikatif, ia juga aktif di berbagai lembaga kemahasiswaan. Hari-harinya tak pernah lepas dari berbagai aktifitas yang mau tak mau menyita banyak waktunya.

Pagi ini kampus pertanian ternama dikota bogor dihebohkan dengan isu “Drop Out” 13 mahasiswa dari berbagai program keahlian akibat aksi demonstrasinya beberapa minggu lalu didepan sebuah perusahaan pengemabangan industri dan perumahan. Demonstrasi tersebut merupakan salah satu bentuk aksi solidarisasi dan kepedulian para mahsiswa atas salah satu desa yang terletak dikota surabaya yang hampir 90% lahan pertaniannya mulai dikuasi oleh perusahaan pengembangan industri dan perumahan tersebut yang akan dialih fungsikan sebagai kawassan industri dan perumahan padahal mayoritas penduduk desa tersebut adalah petani.

Berita tersebut juga menjadi lebih heboh lagi ketika nama ninit seorang mahasiswi yang terkenal dengan segudang prestasi gemilangnya masuk dalam daftar 13 mahasiswa calon drop out tersebut. Padahal beberapa minggu yang lalu ia baru saja mendapat berita menggembirakan karna ia berhasil lolos seleksi untuk mendapat beasiswa pertukaran pelajar ke Universitas Wageningen Belanda. Namun dengan adanya isu drop out tersebut, dengan terpaksa keputusan beasiswa tersebut dipertimbangkan kembali.

Sebenarnya aksi tersebut terjadi bukan tanpa pemikiran yang matang, aksi tersebut sebelumnya dilatar belakangi oleh tulisan-tulisan ninit yang dimuat disalah satu jurnal ibu kota yang juga dimuat di salah satu koran lokal surabaya. Artikel tersebut berisi tentang penelitian ninit yang memperkirakan bahwa 24 tahun kedepan surabaya akan benar-benar kehilangannya lahan pertaniannya dan berubah menjadi bangunan karna hampir setiap tahun 5-50 hektar lahan pertaniannya beralih fungsi menjadi lahan-lahan industri yang menyebabkan surabaya lebih dikenal sebagai kota industri daripada kota pertanian, padahal surabaya masih memiliki 1.200 hektar lahan pertanian yang tersebar dipinggiran kota surabaya. Namun entah mengapa aksi tersebut malah mendapat respon buruk dari pihak kampus. Aksi mereka malah di anggap mencoreng nama baik kampus. Padahal dalam demonstrasi mereka sama sekali tidak ada aksi anarkis dan lain sebagainya.

Sementara itu beberapa kumpulan mahasiswa dari berbagai jurusan mengadakan sebuah perkumpulan kecil unuk menyusun sebuah kegiatan solidarisasi sebagai bentuk usaha untuk mempertahankan ke-13 mahasiswa yang terncam drop out tersebut karna mereka memiliki peran dan prestasi yang baik dikampus. Ninit yang ikut hadir dalam forum diskusi tersebut hanya bisa tertunduk lesu, ia terus berfikir apa yang harus ia sampaikan pada kedua orang tuanya jika ia benar-benar drop out dan beasiswanya ke negri kincir angin tersebut terancam dibatalkan. Padahal ia telah berusaha dengan susah payah membangun kepercayaan kedua orangtuanya dan membuat mereka bangga dengan segudang prestasi yang tak pernah berhenti ia dapat selama 2 tahun kebelakang. Ia terus berusaha menetralisir pikiran negative yang terus menerus berkecamuk di otaknya. Ia berusaha keras berfikir mecari jalan keluar atas segala masalah yang kini ia hadapi. Waktu terus berjalan, ninit melirik jam tangan kecilnya yang telah menunjukan waktu dzuhur. Ia memiliki waktu kurang lebih 45 menit sebelum ia kembali masuk ruang kulliah, dengan cepat ia beranjak dari ruangan tersebut menuju mesjid kampus. Disaat-saat seperti ini hal yang sering ia lakukan untuk menenagkan hatinya adalah berkomunikasi dengan Tuhannya lewat lantunan ayat suci Al-Quran dan doa-doa yang khusyu dan mendalam. Selesai shalat dan berdoa pada Rabb-nya ia segera berjalan menuju ruang perkuliahan, meski kini ia terancam drop out tapi bagaimanapun ia masih tercatat sebagai mahasiswi dikampus tersebut, maka mau tak mau ia harus tetap mengikuti jadwal perkuliahan yang ada.

Suasana runga perkuliahan teknik produksi hibrida siang hari ini terlihat cukup tenang. Ditengah-tengah waktu perkuliahan tiba-tiba pintu ruangan tersebut diketuk dari luar, terlihat pak Suryanto sekertaris KPK (Ketua Progam Keahlian) masuk dari arah luar, ia berdiskusi beberapa menit dengan dosen tersebut sambil sesekali menatap kearah ninit. Tak lama setelah itu ninit diminta untuk menghadap ruangan ketua program keahlian oleh sang dosen yang kemudian diantar oleh sekertaris KPK tersebut. Ninit berjalan dengan cukup santai menuju ruanga KPK sambil mencoba menerka-nerka apa yang akan terjadi disana.

“Ohh, sudah datang rupanya, ayo silahkan duduk.” Ujar pria setengah baya yang berkaca mata dan bertubuh kurus pada ninit ketika ia sampai diruangan tersebut. Ninit sempat merasa kaget karna ternyata direktur kemahasiswaan kampusnya pun ada di ruangan tersebut. Namun dengan cepat ia berusaha mengendalikan diri dan menghilangkan pemikiran buruk yang sempat melintas difikirannya.

“Maaf, ada apa ya pak?.” Tanya ninit dengan sedikit penasaran.

“Mungkin anda juga sudah bisa menebak apa alasan kami memanggil anda kemari, jujur saya dan pak andi sebagai direktur kemahasiswaan merasa sangat bangga memiliki mahasiswi berpersatsi seperti anda. Namun kami juga tidak bisa menutpi bahwa kami merasa sangat kecewa atas tindakan gegabah anda bersama rekan-rekan anda tersebut.” Ujar sang KPK yang diamini dengan anggukan sang dirut kemahasiswaan yang sedari tadi terus memperhatikan ninit dari atas kebawah. Ninit sempat merasa sedikit risih dengan tatapan pria paruh baya dengan badan yang cukup besar dan berkumis tipis tersebut.

“Maksud bapak gegabah apa ya?, sejauh ini saya merasa apa yang saya lakukan selalu berdasarkan pemikiran yang matang seperti apa yang selama ini bapak ajarkan pada saya.” Ucap ninit dengan santai namun tetap penuh adab.

“Anda tidak usah berlagak polos, baru jadi mahasiswa kemarin sore saja sudah mulai banyak tingkah. Anda tahukan aksi anda 3 minggu yang lalu bersama rekan-rekan anda tersebut menyebabkan kalian terancam DO. Anda juga sebagai “motor” utama kegiatan tersebut terancam kehilangan kesempatan beasiswa anda ke Wageningen University karna artikel-artikel anda yang dianggap memprovokasi warga sambikerep dan daerah lain disurabaya untuk tidak menjual tanahnya pada perusahan pengemabangan! Anda tau apa akibat dari kelakuan anda ini? Karna tulisan anda yang terkesan sok tau tersebut mengakibatkan perusahan pengembangan tersebut terancam bangkrut.” Kini giliran pak andi yang merupakan dirut kemahasiswaan berbicara dengan nada yang cukup tinggi.

“Jadi bapak lebih peduli terhadap nasib perusahaan tersebut daripada nasib para petani di desa itu? Bapal lebih suka melihat sawah-sawah disana berubah menjadi bangunan besar yang hanya menambah resiko kerusakan dan bencana alam karna tidak ada lagi lahan untuk penyerapan air? Bapak tega melihat para petani di daerah tersebut kehilangan sumber penghidupan utama mereka? Maaf pak, saya dan rekan-rekan juga melakukan aksi tersebut bukan tanpa alasan yang pasti. Artikel-artikel yang saya buat juga bukan berdasarkan pada data yang fiktif, segala aksi yang kami lakukan juga tidak menyalahi aturan. Kami hanya berusaha membantu membuka pemikiran para petani dan warga lainnya disana serta membantu mereka agar bisa mendapat perhatian dan perlindungan yang lebiih dari pemerintah.” Kini suara ninit mulai terdengar sedikir “bernyawa”.

“anda ini terlalu idealis, mahasiswa kemarin sore seperti anda tidak seharusnya banyak berfikir tentang rakyat kecil seperti mereka. Lebih baik anda fikirkan bagaimana perasaan orang tua anda jika tau anda terancam drop out seperti sekarang. Lebih baik sekarang anda dan teman-teman anda tersebut minta maaf pada pihak kampus dan perusahaan pengembangan tersebut serta mengajukan permohonan pembatalan drop out. Untuk permohonan maaf pada pihak perusahaan anda cukup mengajukan permohonan maaf via pak andi karna beliau merupakan pemegang saham terbesar diperusahaan tersebut. Bukan begitu pak andi?”

Mendengar ucapan sang KPK tersebut tiba-tiba ninit merasakan emosi yang begitu besar, ia kini mengerti apa yang terjadi dan ia kini mulai paham siapa lawan nya yang sebenarnya. Ia berusaha meredam amarahnya agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.

“Saya mengerti sekarang pak. Saya tau mereka memang rakyat kecil yang memiliki banyak keterbatasan, maka dari itu saya sebagai mahasiswa yang merupakan pewaris peradaban serta memiliki tugas mengabdi pada rakyat kecil seperti mereka meras perlu untuk turun mebantu mereka sebisa dan semampu saya. Saya tau bapak memiliki kekuasaan tinggi dikampus, saya juga sekarang tau pak andi ini merupakan pemegang saham terbesar diperusahaan tersebut, bapak boleh mengeluarkan saya dari kampus ini, tapi asal bapak tau, meski saya tidak lagi menjadi mahasiswi dikampus pertanian ini, saya tidak akan berhenti membantu para petani tersebut mempertahankan tanah-tanah pertanian mereka. Terimakasih pak, maaf saya harus segera kembali ke kelas.” Ninit benar-benar emosi, ia berbicara dengan cukup lantang, terlihat guratan emosi diwajah manisnya. Sang Dirut Kemahasiswaan dan KPK yang mendengar perkataan ninit benar-benar merasa emosi.

Satu hari setelah pemanggilan ninit oleh KPK, ia mendapat skorsing 5 hari dari pihak kampus tanpa alasan yang jelas. Ketidak adilan yang ninit terima membuatnya makin terhimpt. Namun bukan nini namanya jika ia hanya berdiam diri dan hanya pasrah akan keadaan. 5 hari waktu skorsing yang ia terima malah ia manfaatkan untuk terus menulis berbagai artikel tentang kota kelahirannya tersebut. Ia bahkan sempat mengontak dan berkomunikasi dengan kepala dinas pertanian kota Surabaya dan beberapa perwakilan pemerintahan kota Surabaya agar pemerintah mengusahakan perlindungan untuk para petani yang tidak menjual tanah miliknya pada perusahaan tersebut dari ancaman para makelar tanah yang mulai mencoba menteror mereka.

Pagi ini setelah menjalani waktu skorsingnya, ninit merasa jiwanya jauh lebih kuat dari beberapa hari yang lalu. Ketika ia berjalan memasuki gerbang kampus tiba-tiba ia mendapat sebuah kejutan dari teman-teman mahasiswanya. Para mahasiswa tersebut membawa spanduk berbagai ukuran dengan berbagai tulisan pula yang berisikan perintah untuk pembatalan Drop Out ke-13mahasiswa dikampus mereka termasuk ninit. Aksi solodarisasi tersebut dilakukan di depan ruangan jajaran direktur kampus. Seorang gadis dengan jilbab biru muda tiba-tiba mendekat dan merangkul bahu ninit, ia mengajak ninit bergabung bersama para mahasiswa tersebut.

“Nit, kita semua pasti terus bantu kamu, kita juga udah berhasil menghubungi wali kota Surabaya. Beliau hari ini berangkat langsung dari Surabaya ke kampus untuk membantu membicarakan masalah kamu & anak-anak yang lain sama para petinggi kampus.” Ucap gadis tersebut.

“Subhanallah, jazakillah ya yun.” Ucap ninit dengan suara bergetar. Ia benar-benar merasa terharu atas apa yang rekan-rekannya lakukan.

5 hari setelah kejadian tersebut, akhirnya dikeluarkan keputusan pembatalan drop out ke -13 mahasiswa tersebut. Beasiswa ninit ke negri kincir angin pun mulai bisa diproses kembali. Ninit terus mengucapkan rasa terimakasihnya pada semua orang juga berulang kali mengucap hamdalah sebagai rasa syukur pada Rabb-Nya. Ninit juga mendapat penghargaan dari pemerintah kota Surabaya atas keberanian dan kecerdasanya dalam mempertahankan hak-hak para petani desa sambikerep tersebut.

Sementara itu dirut kemahasiswaan dan KPK yang dulu mencacimaki dan meremehkan segala pemikirannya kini menjalani proses pemeriksaan dikantor polisi karna terbukti telah melakukan berbagai tindak kecurangan dikampus. Hal tersebut terungkap atas pengakuan para mahasiswa yang memiliki banyak bukti yang akurat atas tindak criminal tersebut.

Ninit mulai kembali tersenyum ceria. Ia kembali teringat perkataan guru ngajinya semasa ia masih di Surabaya bahwa Allah itu maha adil, Ia tidak pernah tertidur dan tidak pernah ingkar atas apa yang ia janjikan. Ia teringat penggalan ayat suci Al-Quran yang dibacakan guru ngajinya tersebut

“Fa-inna ma’al ‘usri yusraa. Inna ma’al ‘usri yusraa. Karna sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan.”